Para ahli memiliki
pandangan berbeda pada teori bermain dalam beberapa zaman. Pertama teori klasik
dan kedua teori modern. Antara teori klasik dan teori modern memiliki hubungan
dan sudut pandang berbeda dari para ahli. Teori-teori klasik mengkaji tentang
sebab munculnya perilaku bermain pada anak, di samping itu teori- teori modern
bukan hanya mengkaji hal tersebut, namun para ahli juga mengkaji tentang manfaat
dari bermain bagi perkembangan anak.
Salah satu dari teori bermain
klasik yang dikemukakan oleh Schiller/Spencer dalam Tedjasaputra (2001:3) teori surplus energi. Spencer memandang aktivitas
seperti berlari, melompat, berguling menjadi ciri khas anak kecil. Spencer
berpendapat bahwa bermain terjadi akibat energi yang berlebih. Menurut Spencer
bermain merupakan cara bagi anak untuk menyalurkan energi yang berlebih dalam
dirinya. Dalam hal ini anak dapat menyalurkan energi yang berlebih melalui aktivitas
bermain yang menyenangkan.
Salah satu dari teori bermain
modern dikemukakan oleh Vygotsky dalam Tedjasaputra (2001:10) pada teori kognitifnya. Vygotsky memandang bahwa bermain adalah self help
tool. Dalam teori tersebut Vygotsky menjelaskan bahwa bermain merupakan
alat bagi anak dalam memajukan Zone Proximal Development (ZPD) yang
berguna membantu dirinya sendiri untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi
dalam memfungsikan kemampuannya. ZPD adalah kondisi transisi anak yang membutuhkan
pijakan untuk naik ke tahap berikutnya scafolding atau berupa dukungan
dari orang yang lebih ahli untuk meraih apa yang mereka capai. Dalam hal ini
bermain dapat menjadi scafolding bagi laju perkembangan anak.
Selain sebagai alat surplus
energi dan meningkatkan kemampuan, bermain juga diselenggarakan dengan aktivitas
yang menyenangkan bagi anak. Hal ini senada yang diungkapkan oleh Sully dalam Tedjasaputra (2001:15) yang mengemukakan bahwa bermain memang mempunyai
manfaat tertentu, yang terpenting dan perlu ada di dalam kegiatan bermain
adalah rasa senang yang diatandai oleh tertawa. Dalam hal ini Sully
mengutamakan suasana menyenangkan yang tercipta dalam aktivitas bermain. Karena
bermain dianggap memiliki manfaat yang dapat mengembangkan semua aspek perkembangan
bagi anak baik perkembangan fisik, mental, sosial dan emsional.
Ternyata melalui bermain ada banyak hal bermanfaat yang
dapat anak lakukan, hal tersebut
diungkapkan oleh Forberg dalam Dockett and Fleer (2000:15) yang menyatakan
bahwa play is direct and spontaneous
activity by which children engage with people and things around them
pleasantly, voluntarily, imaginatively, with all their senses, with their
hands, or with their whole bodies. Berdasarkan pendapat tersebut, Forberg
mengungkapkan bahwa bermain adalah aktivitas spontan dan langsung yang
dilakukan oleh anak. Ketika
anak-anak bermain, anak akan berinteraksi dengan anak lainnya dan benda-benda
yang berada di sekitar mereka. Mereka menggunakan inderanya, tangannya bahkan
seluruh tubuhnya untuk bermain dengan rasa bahagia, suka rela atau tanpa
paksaan, dan dengan imajinasinya sendiri.
Bermain dapat mengembangkan
banyak aspek perkembangan anak. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Catron dan
Allen dalam Musfiroh (2006:6) bahwa bermain mempengaruhi enam aspek
perkembangan, yakni: kesadaran diri (personal awarness), emosional,
sosial, komunikasi, kognisi, dan keterampilan motorik. Pendapat tersebut
didukung oleh Horn yang menganggap bahwa bermain memiliki kekuatan untuk
menggerakkan perkembangan. Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka dapat dikatakan
bermain mempengaruhi laju perkembangan anak. Untuk itu aktivitas bermain
memilki peranan penting dalam kehidupan anak.
Melihat adanya banyak manfaat
bermain bagi anak, ternyata bermain juga merupakan hal yang paling diinginkan
oleh anak di dalam kehidupannya. Hal tersebut
diungkapkan oleh Borstelmann (1995:1)
dalam National Asociation Early Young Children
(NAEYC) bahwa children’s desire and need to play has been recognize
throughout history, but it is not only children who explore and experiment,
imagine and play with symbol, and enjoy manipulating the social and physical
environment. Dari pemaparan tersebut dinyatakan bahwa anak-anak membutuhkan
dan ingin selalu bermain, hal ini telah diakui sepanjang sejarah. Melalui aktivitas
bermain anak-anak tidak hanya dapat bereksplorasi dan bereksperimen melainkan
membayangkan, bermain
dengan simbol, dan memanipulasi lingkungan sosial dan fisiknya. Dengan kata
lain anak-anak sangat membutuhkan porsi bermain lebih banyak dibandingkan apa
yang dibayangkan oleh orang dewasa.
Di
samping sebagai sarana bagi anak untuk bereksplorasi dan bereksperimen, bermain
juga merupakan sarana berekspresi. Hal tersebut diungkapkan oleh Nylud dan
kawan-kawan (2002:128) menyatakan
bahwa,
Play is the natural way of children to
express themselves. Through unstructured plays or structures games, their needs
are express and messages are conveyed. It is also a reflection of indigenous
psychosocial resources, since children naturally work out and discover
alternative solutions to existing problem.
Berdasarkan
pemaparan di atas, Nylud menekankan bahwa bermain merupakan cara alami bagi
anak untuk mengekspresikan diri. Baik melalui aktivitas terstruktur maupun
bermain bebas. Dalam hal ini anak secara alami berusaha untuk menemukan solusi
dari masalah yang ada dari hasil eksplorasinya terhadap lingkungan. Bukan hanya
menemukan sebuah solusi, tapi anak-anak juga dapat menemukan solusi cadangan
terhadap masalah yang sedang mereka hadapi.
Berdasarkan beberapa pendapat yang dimaksud
dengan bermain merupakan kebutuhan bagi anak yang disalurkan melalui aktivitas yang menyenangkan dengan melibatkan
indera bahkan seluruh bagian tubuhnya sehingga dapat membantu seluruh aspek
perkembangan anak baik fisik, sosial emosional.
Daftar Pustaka
Tedjasaputra,
Mayke S. Bermain Mainan dan Permainan. Jakarta: Grasindo, 2001.
Soe, Dockett & Marilyn
Fleer. Play and Pendagogy in Early Childhood. Australia: Harcout, 2000.
Bronson,
Martha B. The Right Stuff for Children Birth to 8. Washington DC: NAEYC, 1995.
Teresa,
at. .al., Small Step, Great Strides. United Nation Children’s
Fund, 2002.